MAKALAH
Akhlak
Kepada Allah SWT. dan Sesama Manusia
Pendidikan
Agama
Dosen
: M. Royyan, S.Pdi. M.Pdi
Disusun
Oleh :
Kelompok
10
Aini
Nurbaiti
Dwi
Septianingsih
Suliani
Agustin
Tingkat
IA
PROGRAM
STUDI D3 ANALIS KESEHATAN
POLITEKNIK
KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN BANTEN
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Akhlak Kepada Allah SWT. dan Manusia”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata
kuliah Pendidikan Agama Islam di Politeknik Kesehatan KEMENKES Banten.
Dalam
Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu,
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini.
Dalam
penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah
ini, khususnya kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Tangerang, September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................... i
DAFTAR
ISI............................................................................... ii
BAB
I PENDHULUAN.................................................................... 1
A. Latar
Belakang.................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah............................................................... 1
C. Tujuan
Penulisan............................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................... 3
A. Pengertian
Akhlak.............................................................. 3
B. Pengertian
Akhlak Menurut Para Ahli........................................ 3
C. Ciri-Ciri Perbuatan
Akhlak..................................................... 4
D.
Akhlak
Kepada Allah SWT...................................................... 4
a.
Pengertian Akhlak Kepada Allah SWT.................................... 6
b.
Alasan Mengapa Seorang Muslim Harus
Berakhlak Kepada Allah.... 7
c.
Akhlak Terpuji Kepada Allah SWT........................................ 9
d.
Akhlak Tercela Kepada Allah SWT....................................... 11
E. Akhlak
Kepada Manusia...................................................... 16
a.
Pengertian Akhlak Kepada Manusia.................................... 16
b.
Alasan Mengapa Sesama Manusia Harus
Saling Berakhlak.......... 18
c.
Akhlak Terpuji Kepada Manusia
(Mahmudah)......................... 18
d.
Akhlak Tercela Kepada Manusia
(Mazmumah)........................ 20
BAB
III PENUTUP...................................................................... 22
A.
Kesimpulan..................................................................... 22
B.
Saran............................................................................ 22
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................... 23
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Tugas
utama dari Nabi Muhammad
Saw. Adalah menyempurnakan akhlak mulia di bumi ini. Mencakup semua bentuk sikap dan perbuatan yang terpuji di
kalangan
orang-orang (masyarakat)yang bertaqwa.
Akhlak mulia merupakan akhlak yang berlaku dan
berlangsung di atas jalur al-qur’an dan pembuatan Nabi Muhammad Saw.
Dan Allah swt menetapkan akhlak mulia
bagi Nabi Muhammad Saw. dalam sikap dan perbuatan. Seperti di
dalam Al-qur’an
surat Al-Qalam ayat 4 :
”Dan sesungguhnya engkau muhammad mempunyai akhlak yang
mulia”.
Kesadaran
akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat
atau merasakan baik atau buruknya suatu sikap yang ia perbuat. Disitulah
membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan,
meskipun dia bisa melakukan.
Dengan demikian setiap muslim diwajibkan untuk
memelihara norma-norma (agama) di masyarakat terutama di
dalam pergaulan
sehari-hari, baik keluarga, kerabat,
tetangga dan
lingkungan kemasyarakatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut makalah ini akan
membahas tentang akhlak kepada Allah dan manusia.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
yang menjadi fokus permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
1.
Apakah
pengertian dari Akhlak dan ciri-cirinya?
2.
Apakah
pengertian dari akhlak kepada Allah dan manusia?
3.
Mengapa kita
harus berakhlak kepada Allah dan manusia?
4.
Apakah macam – macam dari akhlak kepada
Allah dan manusia?
5.
Apakah contoh dari Akhlak kepada Allah
dan manusia?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Mengetahui
pengertian dan ciri-ciri dari akhlak
2.
Mengetahui pengertian dari
masing-masing akhlak kepada Allah swt. dan manusia.
3.
Mengetahui alasan mengapa kita harus
berakhlak kepada Allah swt. dan manusia.
4.
Mengetahui macam-macam dari akhlak
kepada Allah swt. dan manusia.
5.
Mengetahui contoh dari masing-masing
akhlak kepada Allah dan mausia.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akhlak
Akhlak
menurut bahasa yaitu berasal dari bahasa arab (اخلاق) jamak dari kata خلق yang berarti tingkah laku,
perangai atau tabiat.
Sedangkan menurut istilah
akhlak merupakan daya kekuatan jiwa
yang mendorong perbuatan dengan mudah dan spontan tanpa dipikir dan direnung
lagi. Dengan demikian akhlak pada hakikatnya adalah sikap yang melekat pada
diri mausia, sehingga manusia dapat melakuakannnya tanpa berfikir (spontan).
Di
samping itu akhlak juga dikenal dengan istilah moral dan etika. Moral berasal
dari bahasa Latin mores yang berarti adat kebiasaan. Moral selalu dikaitkan
dengan ajaran baik buruk yang diterima umum atau masyarakat. Karena itu adat
istiadat masyarakat menjadi standar dalam menentukan baik dan buruknya.
B.
Pengertian Akhlak Menurut Para
Ahli
a. Ibnu Misawaih
حَالٌ لِلنَّفْسِ دَاعِيَةٌ لَهَا اِلٰى اَفْعَالِهَا
مِنْ غَيْرِ فِكْرٍ وَلَا رُوِيَةٍ
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk
melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
b.
Imam Al-Gazali
عِبَارَةٌعَنْ هَيْئَةٍ فِى النَّفْسِ
رَاسِخَةٌ عَنْهَا تَصْدُرُ الْافْعَالُ بِسُهُوْلةٍ وَيُسْرِ مِنْ غَيْرِحَاجَةٍ
اِلٰى فِكْرٍ وَرُؤْيَةٍ
Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan
macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
c.
Ibrahim Anis
حَالٌ لِلنَّفْسِ رَاسِخَةٌ تَصْدُرُ
عَنْهَا الْاَفْعَالُ مِنْ خَيْرٍ اَوْ شَرٍّ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ اِلٰى فِكْرٍ
وَرُؤْيَةٍ
Sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya
lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran
dan pertimbangan.
C.
Ciri-ciri Perbuatan Akhlak
1.
Tertanam
kuat dalam jiwa seseorang sehingga telah menjadi kepribadiannya.
2.
Dilakukan
dengan mudah tanpa pemikiran.
3.
Timbul
dari diri ornag yang mengerjakannya tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
4.
Dilakukan
dengan sungguh-sungguh.
5.
Dilakukan
dengan ikhlas.
D.
Akhlak Kepada Allah SWT.
Setiap
muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya.
Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya, Allah
adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi
hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya.
Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim, maka akan
terimplementasikan dalam realitabahwa Allah lah yang pertama kali harus
dijadikan prioritas dalam berakhlak. Jika kita perhatikan, akhlak terhadap
Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang
ada dimuka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap
Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun.
Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah,
maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap
orang lain.
Titik tolak akhlak terhadap
Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat
terpuji; demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun
tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.(2)
Itulah sebabnya mengapa Al-Quran
mengajarkan kepada manusia untuk
memuji-Nya, Wa qul
al-hamdulillah (Katakanlah "al-hamdulillah"). Dalam
Al-Quran surat An-Nam1 (27): 93, secara tegas
dinyatakan-Nya bahwa,
Dan katakanlah, "Segala puji bagi Allah, Dia akan
memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kebesaran-Nya, maka kamu akan
mengetahuinya. Dan Tuhanmu tiada lalai dari apa yang kamu kerjakan."
Makhluk tidak dapat mengetahui
dengan baik dan benar betapa kesempurnaan
dan keterpujian
Allah Swt. Itu sebabnya mereka sebelum memuji-Nya
bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Jangan
sampai pujian yang mereka ucapkan
tidak sesuai dengan kebesaran-Nya.
Bertitik tolak dari
uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran kalau
Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah
diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik,
benar, indah, dan sempurna.
Tidak sedikit ayat Al-Quran yang memerintahkan
manusia untuk menjadikan Allah sebagai "wakil". Misalnya
firman-Nya dalam QS Al-Muzzammil (73): 9:
(Dialah) Tuhan
masyrik dan maghrib, tiada Tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Allah sebagai
wakil (pelindung).
Kata "wakil" bisa
diterjemahkan sebagai "pelindung". Kata
tersebut pada hakikatnya terambil dari kata
"wakkala-yuwakkilu" yang berarti mewakilkan. Apabila seseorang
mewakilkan kepada orang lain (untuk suatu persoalan),
maka ia telah menjadikan orang yang mewakili
sebagai dirinya sendiri dalam menangani persoalan tersebut,sehingga sang wakil melaksanakan apa
yang
dikehendaki
oleh
orang
yang
menyerahkan perwakilan kepadanya.
Menjadikan Allah sebagai wakil sesuai dengan makna yang
disebutkan di
atas berarti menyerahkan segala persoalan
kepada-Nya. Dialah yang berkehendak dan bertindak sesuai
dengan kehendak manusia
yang menyerahkan perwakilan
itu kepada-Nya.
Allah Swt.,yang
kepada-Nya
diwakilkan segala persoalan adalah Yang Mahakuasa,
Maha
Mengetahui,
Maha
bijaksana
dan
semua maha
yang mengandung pujian. Manusia sebaliknya, memiliki
keterbatasan
pada segala
hal. Jika demikian "perwakilan"-Nya pun
berbeda dengan
perwakilan manusia.
Perbedaan kedua
adalah dalam keterlibatan orang yang
mewakilkan. Jika Anda mewakilkan orang lain untuk melaksanakan
sesuatu, Anda telah menugaskannya untuk melaksanakan hal tertentu. Anda tidak
perlu melibatkan diri, karena hal itu telah dikerjakan oleh sang
wakil. Ketika menjadikan Allah Swt. sebagai wakil, manusia dituntut
untuk melakukan sesuatu yang berada dalam batas kemampuannya.
Perintah bertawakal
kepada Allah --atau
perintah menjadikan-Nya sebagai wakil
terulang dalam
bentuk tunggal (tawakkal) sebanyak
sembilan kali, dan dalam bentuk jamak(tawakkalu)
sebanyak dua kali. Semuanya didahului oleh
perintah
melakukan sesuatu, lantas disusul dengan perintah
bertawakal. perhatikan misalnya Al-Quran surat Al-Anfal ayat
61: Dan jika mereka condong kepada
perdamaian, condonglah kepadanya, dan bertawakallah kepada Allah.
a.
Pengertian
Akhlak Kepada Allah SWT.
Menurut
Kahar Masyhur akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan
yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan sebagai
khalik.
Sehingga
akhlak kepada Allah dapat diartikan Segala sikap atau perbuatan manusia yang
dilakukan tanpa dengan berfikir lagi (spontan) yang memang seharusnya ada pada
diri manusia (sebagai hamba) kepada Allah SWT. (sebagai Kholiq).
Kita
sebagai umat islam memang selayaknya harus berakhlak baik kepada Allah karena
Allah lah yang telah menyempurnakan kita sebagai manusia yang sempurna. Untuk
itu akhlak kepada Allah itu harus yang baik-baik jangan akhlak yang buruk.
Seperti kalau kita sedang diberi nikmat, kita harus bersyukur kepada Allah.
Menurut
pendapat Quraish Shihab bahwa titik tolak akhlak kepada Allah adalah pengakuan
dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat
terpuji; demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikat pun tidak akan
mampu menjangkaunya.
Seorang
yang berakhlak luhur adalah seorang yang mampu berakhlak baik terhadap Allah
ta’ala dan sesamanya.
b.
Alasan
Mengapa Seorang Muslim Harus Berakhlak Kepada Allah
Seorang
muslim yang baik itu memang diharuskan berakhlak yang baik kepada Allah SWT.
Karena kita sebagai manusia itu diciptakan atas kehendak-Nya, sehingga alangkah
baiknya kita bersikap santun (berakhlak) kepada sang Kholliq sebagai rasa
syukrur kita.
Menurut
Kahar Mashyur , Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu
beakhlak kepada Allah. Yaitu:
1. Allah-lah yang mencipatakan manusia.
Dia yang menciptakan manusia dari air yang ditumpahkan keluar dari tulang
punggung dan tulang rusuk hal ini sebagai mana di firmankan oleh Allah dalam
surat at-Thariq ayat 5-7. sebagai berikut, yang artinya : “Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan?. Dia
tercipta dari air yang terpancar. yang terpancar dari tulang sulbi dan tulang
dada. (at-Tariq:5-7)
2. Allah-lah yang telah memberikan
perlengkapan panca indera, berupa pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan
hati sanubari, disamping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia.
Firman Allah dalam surat, an-Nahl ayat, 78.
yang Artinya: “Dan Allah telah mengeluarkan kamu dari perut ibumu
dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur. ( Q.S an-Nahal : 78)
3. Allah-lah yang telah menyediakan
berbagai bahan dan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia,
seperti bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, air, udara, binatang
ternak dan lainnya. Firman Allah dalam surat al-Jatsiyah ayat 12-13. yang
Artinya “Allah-lah yang menundukkan lautan untuk kamu supaya
kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya, supaya kamu dapat mencari
sebagian dari karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur. “Dan Dia
menundukkan untuk kamu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi
semuanya, (sebagai rahmat) dari pada Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kamu yang berpikir.(Q.S al-Jatsiyah
:12-13 )
4. Allah-lah yang telah memuliakan manusia
dengan diberikannya kemampuan, daratan dan lautan. Firman Allah dalam surat
Al-Israa’ ayat, 70. yang Artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak cucu Adam, Kami angkut mereka
dari daratan dan lautan, Kami beri mereka dari rizki yang baik-baik dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan. (Q.S al-Israa : 70).
c.
Akhlak Terpuji Kepada
Allah.
Yang Meliputi Antara Lain;
1. Taqwa kepada Allah SWT.
Definisi
taqwa adalah memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala
Perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
2. Cinta kepada Allah SWT.
Definisi
cinta yaitu kesadaran diri, perasaan jiwa dan dorongan hati yang menyebabkan
seseorang terpaut hatinya kepada apa yang dicintainya dengan penuh semangat dan
rasa kasih sayang.
3. Bertaubat (Al-taubah).
Bertaubat
ialah suatu sikap
yang menyesali perbuatan buruk yang pernah di lakukan dan berusaha menjauhinya,
beserta melakukan perbuatan baik.
4. Bersabar (Al-sabru)
Bersabar
ialah suatu
sikap yang betah atau dapat menahan diri pada kesulitan yang dihadapinya. Maka
sabar yang dimaksud adalah sikap yang diawali dengan ikhtiar,lalu diakhiri
dengan sikap menerima dan ikhlas bila seorang dilanda cobaan dari Allah SWT.
5. Senantiasa mengingat Allah SWT.
Salah
satu akhlak yang baik kepada Allah yaitu kita selalu mengingat Allah dalam
keadaan apapun, baik dalam keadaan susah maupun senang.
6. Memikirkan keindahan ciptaan
Allah SWT.
Yaitu
kita dianjurkan untuk melakukan Tadzabur Alam, memikirkan tentang bagaimana
kita diciptakan, dan lain-lain yang berkaitan dengan ciptaan Allah yang lain,
supaya kita dapat merasakan keagungan Allah SWT. Sehingga kita dapat berakhlak
yang baik kepada Allah.
7. Muraqobah
Dalam
hal ini, Muraqabah diartikan bahwa kita itu selalu berada dalam pengawasan
Allah SWT.
8. Bersyukur (As-shukru)
Syukur
yaitu memuji sang pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dilakukannya.
Syukurny seorang h amba berkisar atas tiga hal, yang jika ketigany tidak
berkumpul maka tidaklah dinamakann syukur. Tiga hal itu yaitu mengakui nikmat
dalam batin, membicaraknnya secara lahir, dan menjadikannya sebagai sarana taat
kepada Allah.
9. Bertawakkal (Al-tawakkalu).
ialah menyerahkan segala urusan kepada allah setelah
berbuatse maksimal mungkin,untuk mendapatkan sesuatu yang diharapkannya.
10. Ikhlas (Al-ikhlas)
Ikhlas
ialah
menjauhkan diri dari riya’ (menunjuk-nunjukkan kepada orang lain) ketika
mengerjakan amal baik. Maka amalan seseorang dapat dikatakan jernih,bila
dikatakan dengan ikhlas.
11. Raja’ (Al-raja’)
Raja’
ialah sikap
jiwa yang sedang menunggu (mengharapkan) sesuatu oleh allah swt setelah
melakukan hal-hal yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang diharapkannya. Oleh
karena itu bila tidak mengerjakan penyebabnya, lalu menunggu sesuatu yang
diharapkan, maka hal itu disebut”tamani”atau hayalan.
12. Bersikap takut (Al-khauf)
Secara bahasa khauf berasal dari kata khafa, yakhafu, khaufan yang artinya takut. Takut yang dimaksud di sini adalah takut kepada Allah SWT. Khauf adalah takut kepada Allah SWT. dengan mempunyai perasaan khawatir akan adzab Allah yang akan ditimpahkan kepada kita. Cara untuk dekat kepada Allah yaitu mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
13. Merealisasikan ibadah
kepada-Nya.
Akhlak
berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWTadalah
merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah yang bersifat
mahdhah ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena padahakekatnya, seluruh
aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT.Dalam Al-Qur’an Allah
berberfirman (QS. 51 : 56)
“Dan Aku
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”
d.
Akhlak Tercela Kepada
Allah.
Yang meliputi antara lain:
1.
Takabbur (Al-kibru)
Ialah
suatu sikap
yang menyombongkan diri, sehingga tidak mau mengakui kekuasaan Allah d alam
ini, termasuk mengingkari nikmat Allah yang berada pada dirinya.
dengan
menganggap bahwa ada suatu makhluk yang menyamai kekeuasaan –Nya.
2.
Murtad (Ar-riddah)
Ialah sikap yang meninggalkan atau keluar dari agama
islam, untuk menjadi Musyrik (Al-Isyrak); ialah suatu sikap yang
memper sekutukan Allah dan makhluknya.
3.
kafir.
Menurut
syariat Islam, manusia kāfir yaitu: Mengingkari Allah sebagai satu-satunya yang
berhak disembah dan mengingkari Rasul Muhammad SAW sebagai utusan-Nya.
Dalam
syari’at Islam, yang dimaksud dengan orang kafir sebenarnya dibedakan menjadi
empat kelompok:
a. Kafir
Dzimmy, yaitu orang kafir yang membayar jizyah (upeti) yang dipungut tiap tahun
sebagai imbalan bolehnya mereka tinggal di negeri kaum muslimin. Kafir seperti
ini tidak boleh "diganggu" selama ia masih menaati
peraturan-peraturan yang dikenakan kepada mereka. Banyak dalil yang menunjukkan
hal tersebut diantaranya firman Allah Al-‘Aziz Al-Hakim yang artinya :
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak
mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak
beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang
diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh
sedang mereka dalam keadaan shogirun (hina, rendah, patuh)”. (QS.At-Taubah:29).
Dan dalam hadits Buraidah riwayat Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda yang artinya:
Dan dalam hadits Buraidah riwayat Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda yang artinya:
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
alihi wa salllam apabila beliau mengangkat amir/pimpinan pasukan beliau
memberikan wasiat khusus untuknya supaya bertakwa kepada Allah dan (wasiat
pada) orang-orang yang bersamanya dengan kebaikan. Kemudian beliau berkata :
“Berperanglah kalian di jalan Allah dengan nama Allah, bunuhlah siapa yang
kafir kepada Allah, berperanglah kalian dan jangan mencuri harta rampasan
perang dan janganlah mengkhianati janji dan janganlah melakukan tamtsil
(mencincang atau merusak mayat) dan janganlah membunuh anak kecil dan apabila
engkau berjumpa dengan musuhmu dari kaum musyrikin dakwailah mereka kepada tiga
perkara, apa saja yang mereka jawab dari tiga perkara itu maka terimalah dari
mereka dan tahanlah (tangan) terhadap mereka ; serulah mereka kepada Islam
apabila mereka menerima maka terimalah dari mereka dan tahanlah (tangan)
terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah jizyah (upeti) dari
mereka dan apabila mereka memberi maka terimalah dari mereka dan tahanlah
(tangan) terhadap mereka, apabila mereka menolak maka mintalah pertolongan
kepada Allah kemudian perangi mereka”.
Dan dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah riwayat Bukhary beliau berkata:
“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah”.
Dan dalam hadits Al-Mughiroh bin Syu’bah riwayat Bukhary beliau berkata:
“Kami diperintah oleh Rasul Rabb kami shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam untuk memerangi kalian sampai kalian menyembah Allah satu-satunya atau kalian membayar Jizyah”.
b.
Kafir Mu’ahad, yaitu orang-orang kafir
yang telah terjadi kesepakatan antara mereka dan kaum muslimin untuk tidak
berperang dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dan kafir seperti ini juga
tidak boleh diganggu sepanjang mereka menjalankan kesepakatan yang telah
dibuat. Allah Jalla Dzikruhu berfirman yang artinya :
“Maka selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).
“Maka selama mereka berlaku istiqomah terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku istiqomah (pula) terhadap mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”. (QS. At-Taubah : 7).
dan Allah Jallat ‘Azhomatuhu menegaskan
dalam firman-Nya:
“Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS.At-Taubah:12). Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits‘Abdullah bin‘Amr riwayat Bukhary:
“Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”.
“Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agama kalian, maka perangilah pemimpin-pemimpin kekafiran itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar supaya mereka berhenti”. (QS.At-Taubah:12). Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda dalam hadits‘Abdullah bin‘Amr riwayat Bukhary:
“Siapa yang membunuh kafir Mu’ahad ia tidak akan mencium bau surga dan sesungguhnya bau surga itu tercium dari perjalanan empat puluh tahun”.
c. Kafir
Musta’man, yaitu orang kafir yang mendapat jaminan keamanan dari kaum muslimin
atau sebagian kaum muslimin. Kafir jenis ini juga tidak boleh
"diganggu" sepanjang masih berada dalam jaminan keamanan.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah:6).
Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan:
“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. [HR.Bukhary-Muslim].
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : “Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminam keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya”.
Dan dalam hadits Ummu Hani` riwayat Bukhary beliau berkata:
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman yang artinya:
“Dan jika seorang di antara kaum musyrikin meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia agar ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS. At-Taubah:6).
Dan dalam hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam menegaskan:
“Dzimmah (janji, jaminan keamanan dan tanggung jawab) kaum muslimin itu satu, diusahakan oleh orang yang paling bawah (sekalipun)”. [HR.Bukhary-Muslim].
Berkata Imam An-Nawawy rahimahullah : “Yang diinginkan dengan Dzimmah di sini adalah Aman (jaminam keamanan). Maknanya bahwa Aman kaum muslimin kepada orang kafir itu adalah sah (diakui), maka siapa yang diberikan kepadanya Aman dari seorang muslim maka haram atas (muslim) yang lainnya mengganggunya sepanjang ia masih berada dalam Amannya”.
Dan dalam hadits Ummu Hani` riwayat Bukhary beliau berkata:
“Wahai
Rasulullah anak ibuku (yaitu ‘Ali bin Abi Tholib-pen.) menyangka bahwa ia boleh
membunuh orang yang telah saya lindungi (yaitu) si Fulan bin Hubairah. Maka
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa salllam bersabda : “Kami telah
lindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani`”.
d.
Kafir Harby, yaitu kafir yang secara
terang-terangan (atau sembunyi-sembunyi) memusuhi Islam, melakukan
kejahatan-kejahatan melawan Islam dan tindakan-tindakan lain yang patut
dianggap "menyerang" Islam. Jika kepada 3 kelompok kafir di atas
Allah memerintahkan setiap Muslim untuk senantiasa menunjukkan rasa hormat,
bahkan ikut melindungi kerselamatan mereka, maka kafir jenis yang terakhir
inilah yang wajib diperangi menurut ketentuan yang telah digariskan dalam syari’at
Islam.
5.
Munafiq(An-Nifaq)
Ialah suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya.
Ialah suatu sikap yang menampilkan dirinya bertentangan dengan kemauan hatinya.
6.
Riya’ (Ar-Riya’)
ialah suatu
sikap yang selalu menunjuk-nunjukkan perbuatan baiknya yang di lakukannya. Semata-mata bukan karna Allah
melainkan hanya ingin di puji oleh semua orang.
7.
Boros atau berfoya-foya (Al-Israf)
ialah perbuatan yang melampaui batas-batas ketentuan
agama.
8.
Rakus atau Tamak (Al-hirsu atau Al-Tama’u)
Ialah suatu sikap yang tidak pernah merasa cukup,
sehingga selalu ingin menambah apa yang seharusnya ia miliki tampa
memperhatikan hak-hak orang lain.
Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala
sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya
dengan segala isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya.
Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan
lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap
muslim, maka akan terimplementasikan dalam realitabahwa Allah lah yang pertama
kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak. Jika kita perhatikan, akhlak
terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap
siapapun yang ada dimuka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif
terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap
siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah
terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan
akhlak terhadap orang lain.
E.
Akhlak Kepada Manusia
a. Pengertian Akhlak kepada sesama manusia
Pengertian
Akhlak kepada sesama manusia berarti kita harus berbuat baik kepada sesama
manusia tanpa memandang kepada siapa orang tersebut, sehingga kita mampu hidup
dalam masyarakat yang aman dan tenteram.
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan
terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk
larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau
mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti
hati dengan jalan menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib
itu benar atau salah, walaupun sambil memberikan materi kepada yang disakiti
hatinya itu. “Perkataan yang baik dan pemberian ma`af lebih baik dari sedekah
yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan sipenerima). Allah Maha
Kaya lagi Maha Penyantun”. (QS al-Baqarah [2]: 263).
Di sisi lain al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu, al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”.(QS.al-Hujurât[49]:2).
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. (QS.an-Nûr[24]:27).
Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, al-Quran memerintahkan, “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”.(Qur’an-surat:al-Baqarah[2]:83).
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang-benar”,(QS.al-Ahzâb[33]:70).
Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a. menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi al-Quran turun menyatakan: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat (nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.an-Nûr[24]:22).
Jika ada orang yang digelari gentleman – yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut (terutama kepada wanita). seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa al-Quran disebut al-muhsin.
Di sisi lain al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan secara wajar. Nabi Muhammad Saw. misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, namun dinyatakan pula bahwa beliau adalah Rasul yang memperoleh wahyu dari Allah. Atas dasar itulah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain. Karena itu, al-Quran berpesan kepada orang-orang Mukmin: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebahagian kamu terhadap sebahagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu sedangkan kamu tidak menyadari”.(QS.al-Hujurât[49]:2).
Petunjuk ini berlaku kepada setiap orang yang harus dihormati. Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi). “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat”. (QS.an-Nûr[24]:27).
Setiap ucapan haruslah ucapan yang baik, al-Quran memerintahkan, “Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebahagian kecil daripada kamu, dan kamu selalu berpaling”.(Qur’an-surat:al-Baqarah[2]:83).
Bahkan lebih tepat jika kita berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang-benar”,(QS.al-Ahzâb[33]:70).
Yang melakukan kesalahan hendaknya dimaafkan. Pemaafan ini hendaknya disertai dengan kesadaran bahwa yang memaafkan berpotensi pula melakukan kesalahan. Karena itu, ketika Misthah seorang yang selalu dibantu oleh Abu Bakar r.a. menyebarkan berita palsu tentang Aisyah, putrinya, Abu Bakar dan banyak orang lain bersumpah untuk tidak lagi membantu Misthah. Tetapi al-Quran turun menyatakan: “Janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka tidak akan memberi bantuan kepada kaum kerabat (nya), orang-orang miskin dan orang-orang yang berhijrah dijalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan, serta berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin Allah mengampuni kamu? Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS.an-Nûr[24]:22).
Jika ada orang yang digelari gentleman – yakni yang memiliki harga diri, berucap benar, dan bersikap lemah lembut (terutama kepada wanita). seorang Muslim yang mengikuti petunjuk-petunjuk akhlak al-Quran tidak hanya pantas bergelar demikian, melainkan lebih dari itu, dan orang demikian dalam bahasa al-Quran disebut al-muhsin.
b. Alasan
Mengapa Sesama Manusia Harus Saling Berakhlak
Manusia
merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain, dalam
bermasyarakat kita perlu saling menghargai, bagaimana cara bersikap kepada
orang yang lebih tua maupun muda. Ini merupakan alasan mengapa akhlak sangat
penting bagi sesama manusia, karena dengan kita berakhlak, maka kita akan dapat
saling menghargai satu sama lain.
c. Akhlak Terpuji
kepada Manusia (Mahmudah)
Yang meliputi
antar lain:
1. Belas kasih atau sayang (al-shafaqah)
Ialah
sikap jiwa
selalu ingin berbuat baik dan menyantuni orang lain.
2. Rasa persaudaraan
(al-ikha)
Ialah sikap jiwa yang selalu ingin berhubungan baik dan
bersatu dengan orang lian, karena ada keteriakan batin dengannya.
3. Memberi nasehat
(An- Nasihah)
Ialah suatu upaya untuk memberi patunjuk-petunjuk yang
baik kepada orang lain dengan menggunakan perkataan; baik ketika orang di
nasehati telah melakukan hal-hal yang buruk,maupun belum.
4. Menahan amarah (kazmu al- ghaizi)
Ialah upaya menahan emosi, agar tidak dikuasai oleh
perasaan marah terhadap orang lain.
5. Sopan-santun (al-hilmu)
Ialah sikap jiwa yang lemah-lembut terhadap orang lain,
sehingga dalam perkataan dan pembuatannya selalu mengandung adap-kesopanan yang
mulia.
6. Suka memaafkan (al- `afwu)
Ialah sikap dan perilaku seseorang yang suka memaafkan
kesalahan orang lain yang pernah di perbuat terhadapnya.
7. Husnuzan
Berasal dari lafal husnun (baik) dan Adhamu (Prasangka). Husnuzan berarti
prasangka, perkiraan, dugaan baik. Lawan kata husnuzan adalah suuzan yakni
berprasangka buruk terhadap seseorang . Hukum kepada Allah dan rasul nya wajib,
wujud husnuzan kepada Allah dan Rasul-Nya antara lain:
o
Meyakini
dengan sepenuh hati bahwa semua perintah Allah dan Rasul Nya Adalah untuk
kebaikan manusia.
o
Meyakini
dengan sepenuh hati bahwa semua larangan agama pasti berakibat buruk.
Hukum
husnuzan kepada manusia mubah atau jaiz (boleh dilakukan). Husnuzan kepada
sesama manusia berarti menaruh kepercayaan bahwa dia telah berbuat suatu
kebaikan. Husnuzan berdampak positif berdampak positif baik bagi pelakunya
sendiri maupun orang lain.
8. Tawaduk
Tawaduk berarti rendah hati. Orang yang
tawaduk berarti orang yang merendahkan diri dalam pergaulan. Lawan kata tawaduk
adalah takabur.
9. Tasamuh
Artinya sikap tenggang rasa, saling
menghormati dan saling menghargai sesama manusia.
10. Ta’awun
Ta’awun berarti tolong menolong, gotong
royong, bantu membantu dengan sesama manusia.
d. Akhlak Tercela Kepada Sesama Manusia
(Mazmumah)
Yang meliputi antara lain:
1. Mudah Marah (Al- Ghodab)
Ialah kondisi emosi seseorang yang tidak dapat menahan
kesabarannya, sehingga menonjolkan sikap dan perilaku yang tidak menyenangkan
orang lain.
2. Iri Hati Atau
dengki ( al-hasadu atau al- hiqdu)
Ialah sikap kejiwaan seseorang yang selalu menginginkan
agar kenikmatan dan kebahagiaan hidup
orang lain bisa hilang sama sekali.
3. Mengadu-adu
(an-namimah)
Ialah suatu perilaku yang suka memindahkan perkataan
seseorang kepada orang lain,dengan maksud agar hubungan sosial keduanya rusak.
4. Mengupat
(al-ghibah)
Ialah suatu perilaku yang suka membicarakan keburukan
seseorang kepada orang lain.
5. Bersikap
congkap (al-ash’ar)
Ialah suatu sikap dan perilaku yang menampilkan kesombongan,
baik dilihat dari tingkah lakunya, maupun perkataannya.
6. Sikap kikir
(al-bukhlu)
Kikir
ialah suatu
sikap yang tidak mau memberikan nilai materi dan jasa kepada orang lain.
7. Berbuat aniaya
(al-zulmu)
Berbuat
aniaya ialah suatu
perbuatan yang merugikan orang lain, baik kerugian materiil maupun non
materiil.
8. Dendam
Dendam ialah keinginan keras yang
terkandung dalam hati untuk membalas kejahatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Akhlak
merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan manusia, karena akhlak mencakup
segala tingkah laku, tabiat, karakter manusia yang baik maupun yang buruk dalam
hubungannya dengan Allah meupun sesama manusia.
B. Saran
Dengan
terselesaikannya makalah ini, baik pembaca maupun penyusun dapat mendapatkan
pelajaran dan menerapkan akhlak yang baik itu dalam kehidupannya, karena kita
merupakan golongan kaum Rasulullah Saw. yang senantiasa selalu belajar untuk
memperbaiki akhlak.